Tirani Tumbuh Hak-Hak Demokrasi Mati Dalam Literasi
Budaya timur seperti halnya hidup di bagian Asia Tenggara. Yang rentan menerima, tanpa adanya logika yang selaras dengan tipu daya muslihatnya. Mudah untuk dikendalikan, menutupi ruang dari kebebasan untuk menyampaikan hak suara atas keberlangsungan hidupnya. Indonesia di tahun 2024. Telah di mulai dari apa itu Pesta Demokrasi? Yang di mana ada kegelapan mengenai batas usia terhadap Calon Wakil Presiden. Oligarki begitu meyakinkan. Narasi yang menimbulkan kerancuan. Dan gaya Otoriter baru yang telah begitu menghianati mengenai asas dan cita-cita bangsa maupun bernegara.
Hidup memang saling berdampingan. Namun, apakah hanya dalam waktu dari lima tahun saja. Mereka menghampiri kepada kami ini? Mendekati ketika ada maunya saja. Yang ditampilkan oleh atas nama suara untuk memilih mereka yang sanggup untuk melayani kepada rakyatnya itu sendiri! Literasi telah begitu lama mati dinegri ini. Tak seperti para pendahulu kami. Yang begitu berani dalam mengurai hati yang ingin memerdekakan negri ini dengan segudang bacaan diksi. Yang menuntun untuk terus hidup dalam ruang literasi. “Hiduplah seperti Sastra. Yang menuntun manusia untuk mengenal kepada yang lainnya.”
Uang selalu menjadi alat tukar bagi penguasa. Bernilai, namun tak mendidik sama sekali, terhadap masyarakat yang belum terakses dari apa itu pendidikan. Yang selalu menghawatirkan dalam ruang lingkup dari kebodohan. Keputusan sepenuhnya ada di tangan rakyat. Tapi kenapa, mereka enggan untuk mendengarkan mengenai aspirasi terhadap ruang demokrasi yang kini hanya sebagai slogan semata, agar demi tujuan itu bisa segera tercapai. Masyarakat yang kritis di anggap subversif. Pola fikir yang masih bersifat konservatif. Yang enggan tidak mau untuk di dengar. Sebab, hanya segelintir golongan saja yang mereka patuhi untuk memperkuat jalan dari politiknya itu sendiri.
Diam-diam mengesahkan. Lalu, terdengar meresahkan. Hembusan angin memang tak terlihat. Akan tetapi, bisa untuk dirasakan tentang keberadaannya. Hentakan langkah kaki. Bukan untuk memprovokasi dari apa itu gerakan menuju ke jalan yang hendak memintanya untuk mencapai keadilan yang sebenernya. Asia Tenggara terlalu rentan untuk dipimpin oleh militerianisme. Ini disebabkan bukan tentang lagi mengenai budaya, melainkan pola pikir, yang tidak menghendaki terhadap sistem demokrasi yang sebenarnya itu hanya kedok belaka saja. Revolusi saja tidak cukup. Sebab, itu hanya bagian daur ulang saja. Selebihnya akan kembali seperti semulanya. Naif memang dan terasa begitu munafik. Ini ketegasan dalam pengambilan sikap. Yang harus dipertegas oleh sebuah gagasan yang memang harus mencerminkan, mengenai situasi, kondisi, maupun eksistensinya itu sendiri.
Lantas, apakah di Asia Tenggara itu miskin? Tentu saja Tidak. Kenapa Tidak? Karena Asia Tenggara itu kaya akan sumber daya alamnya. Seperti halnya Indonesia. Namun, hanya sebagian golongan saja yang mampu untuk menikmati hasilnya. Lalu, apakah rakyat itu menikmatinya? Tentu saja Tidak! Jika rakyat menikmatinya. Lantas, apakah rakyat itu akan patuh untuk menuruti di setiap janji yang mereka ucapkan di ajang waktu lima tahun yang akan menuju kepada pesta demokrasi itu tersebut.
Mustahil seperti tahayul yang di mana mudah di terima sebagai objek semenjak berada di dalam pikiran. Ada hantu yang melayang, tanpa menginjak ke tanah. Dan bisa terbang sampai ke bulan. Yang entah darimana data itu harus diperoleh dengan secara fakta yang dihidangkan oleh fatamorgana. Teknologi dijauhi, korupsi kian nyata dipangkuan ibu pertiwi. Kenyang, rakus, serakah, itulah cerminan dari sebuah bangsa yang tidak terdidik dengan secara menyeluruh dari segi pendidikan.
Padahal itu sifatnya kewajiban bagi nusa dan bangsa untuk mencerdaskan dari masyarakat yang akan dikehendaki menuju hidup yang hakiki. Westernis tidak bisa di tepis, masukan ke tahap rasionalitas. Agar, welas asih bisa tertanam dengan jelas. Barat memang maju dengan begitu pesatnya. Bukan berarti kita tidak berkeinginan untuk maju seperti mereka. Ada nilai yang harus dipegang dengan ketekunan, yang melaraskan atas hidup demi kebersamaan.
Saya, bukan orang politk. Tapi saya, manusia yang berpolitik. Maka dari itu, tanamkan kepada generasi mengenai hak literasi. Agar hidup bisa mengenali kepada dirinya itu sendiri. Saya mengajak bersama-sama untuk berjuang bukan atas nama bangsa ataupun negara. Melainkan makhluk hidup yang akan terus berlanjut sampai kita mengenali kepada yang lainya. Mungkin dengan literasi kita bisa tersadarkan oleh kebelenguan yang terjebak dalam labirin sistem ini. Pendidikan itu sangatlah penting. Sentral. Vital maupun Fundamental.
Dengan langkah sederhana, cukup dengan mengajarkan membaca, menulis, dan mengajak berfikir.Mengenai dunia yang begitu penuh dengan kemajemukan yang ada. Bukan menciptakan generasi yang membalut peperangan. Melainkan perang dengan secara pikiran. Diplomasi kini telah berubah, bukan lagi tentang berperang pikiran. Justru menimbulkan konflik demi konflik. Yang telah membusuk dalam manipulatif politik. Bagaimana bisa, mereka selalu berbicara mengenai atas nama bangsa dan negara.
Tapi mereka mengorbankan manusia untuk saling menyakiti, bahkan saling membunuh demi ambisi, dan merebut hak hidup dari seseorang yang ingin damai, tentram, bergembira dan berbahagia dengan secukupnya. PBB mungkin sudah jauh dari apa itu Perserikatan Bangsa-Bangsa. Yang di mana mereka telah di bajak, oleh visi dan misi. Seolah-olah diam, berbicara di depan kamera. Yang tidak semestinya untuk menghentikan genosida yang sedang terjadi di hari-hari ini. Harga diri, memang layak diperjuangkan. Namun, apakah harus dengan cara menyakiti dari sentuhan fisik. Kecaman verbal yang saling menjatuhkan dan merendahkan martabat sebagai manusia.
Kini ilmuwan tak lagi seperti selebriti. Yang tak haus dari nilai literasi. Yang memadamkan kesunyian dalam kehidupan dari media sosial. Semu dan tabu. Apakah masih relevan di dunia seperti zaman batu. Memburu secukupnya. Melahap seperlunya. Bukan membantai. Lalu, menghancurkan dari tatanan hidup. Yang terus merusak. Hutan di babat. Digunduli. Ditelanjangi. Dibuly. Diedarkan oleh berita terkini. Viral, lalu dibungkam. Jari-jemari dibekali. Itulah senjata dari buah pemikiran manusia sendiri.
Lautan akan mengering. Tanah menjadi miring. Daun-daun mulai menghitam. Apakah kita sebagai manusia yang dibekali akal budi. Akan berhenti menakuti ruang hampa ini. Tirani semakin tumbuh. Kita sebagai manusia akan terus mengeluh. Sampai air yang jernih itu mengkeruh. Dan bersiaplah bencana akan segera bergemuruh. Diseluruh jagat semesta. Buta yang mengedipkan mata. Tuli yang mampu melihat sejauh telingga. Dan hidung mencium bau rasa dari ketidakpastiaan umat semesta ini. Demokrasi agar bisa tetap hidup. Tentu saja harus terpondasi oleh keberadaan dari segi literasi.
Bagaimana mungkin. Demokrasi itu tidak hidup bila literasinya mati. Itu adalah dua fungsi untuk mencermati dari kegiatan demokrasi itu sendiri. Dimana ada kebebasan dalam bersuara. Maka disitulah tumbuh bersama-sama. Saudara-saudara yang entah dari mana asalnya. Saya, memohon kepada kalian semua. Agar, kita bisa tumbuh dalam konteks literasi yang di dukung langsung oleh sistem demokrasi. Dari kalangan manapun. Dari golongan siapapun. Yang jelas kita sebagai makhluk hidup. Berhak untuk memperoleh kebebasan dan berpendapat dari kehendak hidup kita. Jangankan manusia. Hewan dan tumbuhan pun, perlu dilibatkan. Karena mereka pun bagian dari tatanan semesta ini. Dan kita sebagai manusia, punya kehendak penuh untuk mewakili atas hidup yang sedang kita jalani.
Di setiap diri manusia. Memiliki sifat hewani. Namun, yang membedakan kita dengan mereka adalah akal budi pengerti yang jauh mulia. Maka dari itu, kita berhak untuk memperjuangkan makhluk hidup yang ada di muka bumi ini. Bukan sebaliknya kita untuk menghancurkan, menghabisi, lalu menikmati dengan keserahkan dini. “Bangsa yang terdidik akan melahirkan masyarakat yang oportunis. Bangsa yang saling mendidik akan melahirkan masyarakat yang demokratis.”
Meletakan setiap sudut perpustakan. Menjatuhkan mimpi dalam setebal buku. Dan terus membaca sepanjang akhir hidupnya. Berikan pertanyaan demi pertanyaan. Maka kegelisahan dalam niscahya pengetahuan akan hadir dengan secerah matahari terbenam dikala senja meninggalkan kenikmatan cahaya sebelum tenggelam jauh dari pandangan kedua bola mata. Simpan dalam-dalam. Memberanikan diri untuk perubahan sekecil apapun itu harapan. Setidaknya kita telah mengusahakan. Dari keterbatasan yang menentang ketidakberdayaan. Yang meyakini hati. Hanyut dalam renungan diri. Menampakan diri untuk berkontribusi. Yang berpijak dalam dunia philosophy Memperkaya haluan untuk menciptakan dunia yang baru ini.
Mungkin tirani akan terus hidup. Tapi dengan literasi yang diperoleh kita bisa memberikan ruang selebar-lebarnya untuk memperluas dalam bentuk wujud dari apa itu sebuah gagasan terhadap perlawanan bagi penindasan yang serta-merta adil sama rata. Gemerlap bintang lebih bersinar dari kursi kekuasaan. Yang haus kesenjangan. Takut mati kelaparan. Tertembak oleh dinamika terhadap ruang internal politik yang mengakar kebencian dan mengundang amukan masa dan terjadilah perpecahan di dalam masyarakat yang hanya menjadi simpatisan ketimbang berfikir yang tak lagi mutakhir.
Maka yang lahir hanyalah tragedi demi tragedi. Dan sampailah kepada titik pencatatan terhadap pengulangan bagi sejarah. Mereka duduk dengan begitu manis. Menunggu sambil menyaksikan siapa yang lebih cepat untuk mencuri keuntungan dari pertikaian yang telah disaksikan oleh masyarakat dan di lihat langsung selayaknya seorang pahlawan kesiangan. Semakin mengatur. Semakin banyak yang terbentur. Pesawat tempur meluncur. Bukan untuk hancur. Melainkan sudah tidak bisa lagi untuk diatur. Sibuk memperkaya diri. Sampai lupa diri. Ingin berkuasa dengan secara abadi. Lebih baik kalian hidup dalam delusi yang tak memiliki sebuah arti tanpa merenungkan hati sanubari. Perkuat barisan basis politik. Lahirkan Dinasti. Biarkan Literasi Mati. Dalam Hak-Hak Demokrasi. Yang Tidak Menuntun Terhadap Penerangan. Bagi Cahaya Yang Menerangi Ilmu Terhadap Mahkluk Hidup. Sekeras Batu. Melawan Dengan Setetes Air Yang Perlahan Akan Menguras Kepercayan Terhadap Rakyat.
Kunci dari demokrasi itu sendiri adalah Kepercayaan. Dan penawar dari demokrasi itu sendiri adalah keaktifan dalam menyuarakan untuk menyampaikan hak hidupnya. Maka dari itu tumbulah Literasi. Yang menawarkan diri untuk mengimbangi terhadap sistem dari Demokrasi. Dari kesepakatan. Dari kemusyawaratan. Dan tentu saja Keadilan Bagi Manusia Yang Beradab. Mari bersama-sama kita untuk terus belajar. Mengenai peristiwa yang ada di negri kita masing-masing. Perbedaan bukanlah persoalan. Yang selalu digempur ketika hendak tertidur. Bangunlah. Terus berjuanglah. Atas sebuah mimpi dan cita-cita agar hidup bersahaja dengan cara membaca. Karena hanya itu jalan yang bisa untuk mengakses terhadap tangtangan yang selalu sulit untuk tersampaikan dengan secara seksama diantara retorika yang semakin menggila terhadap dunia. Jangan sampai Sastra menjadi sesuatu hal yang langka bagi anak muda yang sedang belajar mengenai problematika terhadap negara yang Ia cinta. Teruslah untuk bersemangat mengenai suatu perubahan yang memang itu benar-benar sangat dibutuhkan oleh sebuah bangsa yang menginginkan untuk menjadi sebuah bangsa pemikir.