HumanioraOpini

Mau ngurangin sampah, malah bikin P5 yang bawa sampah dari luar sekolah.

Sebuah isah yang menggelitik di pelatihan P5. Jadi sekolah tersebut meminta anak-anak membuat Eco Brick dari sampah. Namun lucunya, sampah-sampah yang digunakan mereka bawa dari luar sekolah, dan bahkan beberapa menggunakan kemasan-kemasan baru dipakai mereka sendiri.

Jika projek sampah yang dimaksud bertujuan untuk membuat anak-anak memiliki Gaya Hidup Berkelanjutan, sudah sewajarnya ini yang dijadikan tujuan, bukan “tempelan” semata. Bukan sekadar menyelesaikan tugas, “Yang penting eco bricknya selesai…”. Kalau Eco Bricknya selesai, tapi gaya hidup anak-anak masih sering memakai kemasan plastik setelahnya. Ya P5-nya perlu direfleksikan.

Orangtuanya merasa tugas anak terlalu berat. Anaknya juga merasa demikian. “Yang penting eco bricknya selesai, yang penting dapat nilai…”

Alih-alih berubah prilakunya setelah projek, bisa-bisa malah ilfeel. Tujuan gaya hidup MINIM SAMPAH tidak tercapai.

Ini yang sering dilupakan yaitu WHY. “Memunculkan aktivitas kenapa kalian harus peduli akan sampah.” Kebanyakan P5 langsung melompat ke “How to”, cara membuat A, cara membuat B, Jadi tujuannya yang penting produknya selesai.

Lalu apa yang harus dilakukan fasilitator?

FIND, IMAGINE, DO, SHARE.

Dalam pengamatan penulis banyak projek yang hanya fokus pada DO (lakukan) dan Share (Bagikan/pameran karya). Melupakan Find dan Imagine.

Tahapan Find, adalah tahap anak menemukan masalah di sekitar melalui banyak aktivitas : Observasi, diskusi, riset, analisis bencana, wawancara, dll. Sehingga anak benar-benar tahu masalah yang ada di sekitar. Anak berempati akan masalah yang ditemukan.

Tahapan Imagine, adalah tahapan anak membayangkan apa yang bisa mereka lakukan untuk mengatasi masalah itu. Sehingga sadar dan tahu, kenapa membuat A, kenapa membuat B, dll.