Deep Learning dan Dalamnya Makna: Studi Awal Panca Curiga
Bisakah kecerdasan buatan belajar menyindir?
Dalam budaya Sunda, ada konsep yang begitu indah dan dalam—Panca Curiga. Lima bentuk cara manusia menyampaikan maksud tanpa mengatakannya secara langsung: sindir, sampir, silib, siloka, dan sandi tina simbul. Semuanya adalah cara manusia menjaga perasaan, mengelak dari konflik, atau sekadar menyelipkan makna dalam bahasa.
Lalu muncul pertanyaan: bagaimana jika cara-cara ini diajarkan pada mesin?
Di dunia teknologi hari ini, NLP (Natural Language Processing) telah berkembang pesat. Kita punya ChatGPT, BERT, dan ribuan model lain yang bisa menulis puisi, menjawab pertanyaan, hingga merangkum buku. Tapi apakah mereka benar-benar mengerti ketika seseorang menyindir halus lewat metafora?
Di sinilah gagasan Panca Curiga Learning lahir—sebuah pendekatan eksperimental yang mencoba memetakan cara berpikir orang Sunda ke dalam sistem pemelajaran mesin. Bukan hanya mengenali kata, tapi memahami makna yang tersembunyi.
Bayangkan jika AI tidak hanya tahu arti kata, tapi juga tahu kapan harus diam, kapan harus membalas dengan sindiran cerdas, atau kapan sebuah kalimat adalah peringatan lembut, bukan amarah.
Penelitian ini masih sangat awal. Mungkin baru sebatas pengumpulan data dan klasifikasi jenis sindiran dalam teks Sunda. Tapi ia membawa mimpi besar: menjadikan AI lebih manusiawi, lebih kontekstual, dan lebih menghargai budaya.
Karena dalam dunia yang makin bising, barangkali mesin yang bisa ngasih sindiran halus adalah masa depan yang lebih damai.
“Nu nyelap téh henteu salawasna leungeun, tapi bisa jadi kalimat…”
(Yang menusuk itu tak selalu tangan, kadang sebuah kalimat…)